“ bagi gue, pernikahan adalah memilih teman seumur hidup, ketika sudah tua nanti, ketika rasa
cinta yg menggebu seperti saat
ini sudah mulai pudar “
-Rhesa (for HAI
Magazine)-
Pernikahan .
Dua orang yg berbeda, yg
memiliki kesamaan, memiliki perbedaan, memiliki kelemahan, memiliki kelebihan,
dari keluarga yg berbeda, didikan yg berbeda, dan masa lalu yg berbeda. Demi
menyempurnakan agama, mereka hidup dan berada dalam perahu yg sama. Berlayar,
menghadapi ombak dan lautan tenang, angin atau badai, bersama-sama, sampai
akhir .. oh, marriage.
Karena tahun ini banyak
sekali orang2 terdekat sy yg akan dan sudah married.
Jadi boleh dibilang tahunnya mereka nih, hehe. Jd sy pengen nulis sedikit tentang
yg sy lihat atau yg sy dapatkan dr orang lain tentang pernikahan.
Emm. Usia rawan-rawan
menikah biasanya masa-masa lulus SMA atau kuliah, apalagi yg sudah kuliah, yg
sedang bekerja, masa-masa menjelang usia dewasa. Sy pernah baca, lupa
dimana..hehe.
Usia produktif : 17 – 35
tahun
Usia subur : 20 – 30
tahun
Nah, sy jadi berpikir
ketika ngobrol bersama teman2 sy, orang tua, atau baca. Ternyata pernyataan di
awal tulisan ini sangat benar sekali adanya.
Bahwa menikah itu, adalah
memilih teman hidup sepanjang masa. Teman yg berarti selalu bersama kita. Tidak
meninggalkan kita di saat senang apalagi susah. Baik kita sedang kaya atau
miskin. Yang peduli dengan kita, dan bertanggung jawab tidak hanya di awal,
tapi sampai akhir.
Harta yg sangat berharga
jika kita menikah dengan orang
shaleh/shalehah.
Sholeh/sholehah itu
perkara yg nomer satu untuk dipentingkan. Agamanya. Ukurannya sendiri hanya Allah
yg tau. Setidaknya meski dia beruang tapi nggak mau tau dan nggak mau belajar
masalah agama, gimana kita nanti? Menikah kan pertanggung jawabannya nggak Cuma
di dunia.. tapi juga di akhirat. Di hadapan Allah.
Sesuatu yg ada dalam
dirinya, pribadinya. Ternyata menikah itu memang mencari orang yg bisa menjadi
sahabat kita. Dalam suka dan duka, dalam sehat dan sakit, dalam kaya dan
miskin, saat tubuh kita masih muda dan segar, hangatnya cinta masih tertebar.
Bagaimana kalau kulit kita sudah keriput? Sudah mulai pikun? Akankah ia tetap
bersama kita, seperti layaknya sahabat. Ia juga akan menjadi kaca yg
memberitahu kekurangan kita, sehingga kita bisa memperbaikinya. Atau bahkan
saat ia sudah tau kelemahan kita. dia tetap bersama kita.
Bp. Ari Ginanjar berkata,
bahwa menikah adalah komitmen. Pertama, komitmen intelektual. Sah secara hukum,
tanda tangan dll. Kedua, komitmen emosional yakni budaya, keluarga, kerabat dan tamu turut
menjadi saksi pernikahan kita, masyarakat, pengenalan dan adaptasi satu sama
lain. Yg paling penting adalah komitmen spiritual. Ketika menikah, Bukan hanya
sekedar bahagia bahwa kita punya pasangan cantik, atau punya pasangan tampan,
atau karena dia akan memberikan pelayanan terbaik untuk kita. Dia bukan mencari
kesempurnaan. Karena kalau mencari kesempurnaan maka hidup tidak akan bahagia,
habis usianya. Tapi apabila menikah untuk mengisi ketidak sempurnaan maka
hidupnya akan bahagia.
Yg satu visi juga
penting, biar bisa berjalan beriringan dan seimbang. Kalau dia kebetulan kaya
atau cantik, terpandang atau tampan, allhamdulillah .. bonus dr Allah.
Tapi kalau biasa saja,
Alhamdulillah juga .. biar Allah yg mencukupkan rezeki harta, kesehatan,
keselamatan dan kebahagiaannya sampai berhasil bersama-sama di dunia juga di
akhirat. Insya Allah.