Senin, 15 November 2010

Jual Beli Dalam Hukum Nasional dan Islam

A.    Jual Beli Menurut Hukum Nasional
1.      Definisi Jual Beli
Jual beli secara etimologis artinya mengganti dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Sedangkan secara terminologis , ulama hanafiyah mendefinisikan dengan “saling menukar harta dengan harta melalui cara tertentu”. Jual beli (menurut B.W.) adalah suatu perjanjian bertimbal-balik dimana pihak yang satu (si penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedang pihak yang lainnya (si pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut. Jual belli dikatakan bersifat nasional apabbila terjadi antara penjual dan pembeli dalam wilayah negara yang sama.
Untuk memahami konsep jual beli perdagangan, lebih dahulu perlu dipahami konsep jual beli. Jual beli diatur dalam buku III Bab V Pasal 1457 sampai dengan Pasal 1472 KUHPdt. Menurut ketentuan Pasal 1457 KUHPdt, jual beli adalah perjanjian dengan mana penjual mengikatkan diri untuk menyerahkan benda, dan pembeli untuk membayar harga yang telah disetujui.
Dari pengertian tersebut dapat dibedakan antara jual beli umum dan jual beli khusus. Jual beli umum lazim disebut jual beli saja, seperti yang diatur dalam KUHPdt. Sedangkan jual beli khusus disebut jual beli perdagangan, tidak diatur dalam KUHPdt ataupun dalam KUHD. Jual beli perdagangan diadakan berdasarkan perjanjian dan kebiasaan yang berlaku dalam perdagangan. Sebagai ketentuan umum, KUHPdt tetap berlaku terhadap jual beli perdagangan kecuali apabila ditentukan lain secara khusus dalam perjanjian (Pasal 1319 KUHPdt).
2.      Syarat-Syarat  Jual Beli
Jual beli perdagangan mempunyai ciri-ciri atau syarat-syarat khusus. Kekhususan tersebut dapat dipahami melalui unsur-unsur sebagai berikut:
a.       Unsur Subjek, yaitu penjual dan pembeli kedua-duanya atau salah satunya adalah perusahaan perseorangan, atau persekutuan, atau badan hukum.
b.      Unsur Objek, yaitu benda dan harga. Benda adalah barang dagangan, dibeli untuk dijual lagi. Harga adalah nilai benda dagangan yang diukur dengan uang.
c.       Unsur Peristiwa, yaitu perbuatan menjual barang dan penyerahannya menggunakan alat pengangkut niaga yang digerakkan secara mekanik dan perbuatan membeli barang dengan pembayaran tunai atau menggunakan surat berharga melalui jasa bank.
d.      Unsur tujuan, yaitu keuntungan dan/atau laba sebagai nilai lebih dari modal perdagangan yang sudah diperhitungkan.
Jual beli dapat diadakan secara lisan, dapat pula secara tertulis (Pasal 1458 KUHPdt). Jika diadakan secara lisan, maka selalu didukung oleh alat bukti tertulis, misalnya faktur penjualan, kuitansi pembayaran. Jika dilakukan secara tertulis, perjanjian dapat dibuat dalam bentuk akta otentik di muka notaris, dapat pula dalam bentuk akta di bawah tangan yang dibuat oleh pihak-pihak sendiri. Demikian juga cara melakukan pembayaran dan penyerahan barang. Pembayaran harga dilakukan di tempat dan pada waktu yang ditetapkan dalam perjanjian (Pasal 1513 KUHPdt), secara tunai atau dengan surat berharga melalui bank. Sedangkan penyerahan barang dilakukan di tempat di mana barang itu berada, kecuali jika diperjanjikan lain (Pasal 1477 KUHPdt).[1]
Segala ketentuan jual beli dalam KUHPdt berlaku terhadap jual beli perdagangan dalam negeri, kecuali jika ditentukan lain dalam kontrak. Dalam kontrak jual beli perdagangan dimuat syarat-syarat yang berkenaan dengan cara penyerahan barang dan cara pembayaran harga barang. Syarat-syarat tersebut menyatakan sejauh mana penjual atau pembeli bertanggung jawab atas barang yang diserahkan dan harga yang dibayar dengan dukungan dokumen-dokumen. Tanggung jawab itu meliputi biaya atau ongkos, misalnya biaya angkutan, biaya asuransi, dan meliputi kerugian akibat penyerahan barang dan pembayaran harga barang, misalnya kerugian karena kerusakan, kehilangan, kemusnahan, kelambatan.
Dalam kontrak jual beli perdagangan dimuat syarat-syarat penyerahan yang sudah dibakukan. Berikut kami sajikan syarat-syarat dalam penyerahan barang:
a.      Syarat Loco
Loco artinya gudang penjual. Syarat ini mengandung makna bahwa pembeli menerima penyerahan di gudang penjual. Dengan demikian, tempat terjadi penyerahan barang adalah di gudang penjual. Hak milik dan risiko atas barang beralih kepada pembeli sejak barang diserahkan untuk diangkut ke luar gudang penjual. Semua biaya dan kerugian yang timbul dari gudang penjual sampai di tempat pembeli menjadi tanggung jawab pembeli. Dengan kata lain dalam kontrak yang bersyarat “loco”, semua biaya dan risiko atas barang menjadi tanggung jawab pembeli.
b.      Syarat FAS
FAS adalah singkatan dari Free Along side Ship, artinya bebas di samping kapal. Syarat ini mengandung makna bahwa penyerahan barang dilakukan di dermaga di samping kapal yang disediakan oleh pembeli di pelabuhan embarkasi. Jadi, tempat penyerahan barang adalah di dermaga di samping kapal. Hak milik dan risiko atas barang beralih kepada pembeli sejak barang ditempatkan di dermaga di samping kapal. Semua biaya dan kerugian yang timbul dari gudang penjual sampai di dermaga di samping kapal menjadi tanggung jawab penjual. Sedangkan semua biaya dan kerugian yang timbul dari dermaga sampai di gudang pembeli menjadi tanggung jawab pembeli.

c.       Syarat FOB
FOB adalah singkatan dari Free On Board, artinya bebas di atas kapal. Syarat ini mengandung makna bahwa penyerahan barang dilakukan di atas kapal yang disediakan oleh pembeli di pelabuhan embarkasi. Jadi, tempat penyerahan barang adalah di geladak kapal. Hak milik dan risiko atas barang beralih kepada pembeli sejak barang berada di geladak kapal. Semua biaya dan kerugian yang timbul dari gudang penjual sampai di geladak kapal menjadi tanggung jawab penjual. Sedangkan semua biaya dan kerugian yang timbul sejak di geladak kapal sampai di gudang pembeli menjadi tanggung jawab pembeli.
d.      Syarat CIF
CIF adalah singkatan dari Cost, Insurance, and Freight, artinya ongkos, premi asuransi, dan biaya angkutan. Syarat ini mengandung makna bahwa semua ongkos, premi asuransi, dan biaya angkutan barang sampai di pelabuhan tujuan (pembongkaran) menjadi tanggung jawab pejual. Ini berarti penjual wajib mengantarkan barang sampai di pelabuhan tujuan. Tetapi penyerahan barang terjadi di atas kapal di pelabuhan embarkasi. Jadi, tempat penyerahan barang adalah di atas kapal. Hak milik atas barang beralih kepada pembeli sejak barang berada di atas kapal. Semua biaya dan kerugian yang timbul dari gudang penjual sampai di pelabuhan tujuan (disembarkasi) menjadi tanggung jawab penjual. Sedangkan semua biaya dan kerugian yang timbul sejak di pelabuhan tujuan (disembarkasi) sampai di gudang pembeli menjadi tanggung jawab pembeli. Perlu diperhatikan bahwa jika sesudah pemuatan terjadi pejualan barang, maka hak milik atas barang beralih pada saat penyerahan konosemen kepada pembeli.
e.       Syarat CF
CF adalah singkatan dari Cost and Freight, artinya ongkos dan biaya angkutan. Syarat ini sama dengan syarat CIF, bedanya hanya pada premi asuransi. Pada syarat CF premi asuransi menjadi tanggung jawab pembeli, sedangkan pada syarat CIF menjadi tanggung jawab penjual. Tempat penyerahan barang adalah di atas kapal di pelabuhan embarkasi. Semua ongkos dan biaya angkutan sampai di pelabuhan tujuan menjadi tanggung jawab penjual. Tetapi risiko kerugian mmenjadi tanggung jawab pembeli. Untuk menghindari risiko tersebut pembeli sendiri yang dapat mengasuransikan barangnya, atau jika diasuransikan oleh penjual, biaya asuransi menjadi tanggung jawab pembeli.
f.       Syarat Franco
Franco artinya bebas di gudang pembeli. Syarat ini mengandung makna bahwa penjual wajib mengantarkan barang sampai di tempat yang ditunjuk oleh pembeli (gudang pembeli). Ini berarti penyerahan barang terjadi di tempat (gudang) pembeli. Dengan demikian, penjual baru bebas dari tanggung jawab atas biaya dan risiko setelah barang sampai di tempat (gudang) pembeli. Dengan kata lain, dalam kontrak yang bersyarat “franco”, semua biaya dan risiko atas barang sampai di tempat tujuan menjadi tanggung jawab penjual.[2]

3.      Hukum jual Beli
Unsur-unsur pokok (“essentialia”) perjanjian jual beli adalah barang dan harga. Sesuai dengan asas “konsensualisme” yang menjiwai hukum perjanjian B.W., perjanjian jual beli itu sudah dilahirkan pada detik tercapainya “sepakat” mengenal barang dan harga. Begitu kedua pihak sudah setuju tentang barang dan harga, maka lahirlah perjanjian jual beli yang sah.
Sifat konsensual dari jual beli tersebut ditegaskan dalam pasal 1458 yang berbunyi: “jual beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar”.
Sebagaimana diketahui, hukum perjanjian dari B.W. itu menganut suatu asas bahwa untuk melahirkan perjanjian cukup dengan sepakat saja dan bahwa perjanjian itu (dan dengan demikian “perikatan” yang ditimbulkan karenanya) sudah dilahirkan pada saat atau detik tercapainya konsensus. Pada detik tersebut perjanjian sudah jadi dan mengikat, bukannya pada detik-detik lain yang terkemudian atau yang sebelumnya.Asas konsensualisme itu dari pasal 1320, yaitu pasal yang mengatur tentang syarat-syarat sahnya suatu perjanjian.
Bagi pihak penjual ada dua kewajiban utama yaitu:
a.       Menyerahkan hak milik atas barang yang diperjual-belikan
b.      Menanggung kenikmatan tenteram atas barang tersebut dan menanggung terhadap cacat-cacat yang tersembunyi.
Sedangkan kewajiban utama si pembeli ialah membayar harga pembelian pada waktu dan ditempat sebagaimana ditetapkan menurut perjanjian. “Harga” tersebut harus berupa sejumlah uang. Meskipun mengenai hal ini tidak ditetapkan dalam sesuatu pasal undang-undang, namun sudah dengan sendirinya termaktub didalam pengertian jual beli, oleh karena bila tidak, umpamanya harga itu berupa barang, maka itu akan merubah perjanjiannya menjadi “tukar-menukar”, atau kalau harga itu berupa jasa, perjanjiannya akan menjadi suatu perjanjian kerja, dan begitu seterusnya. Harga harus ditetapkan oleh kedua belah pihak.
Jika pada waktu membuat perjanjian tidak ditetapkan tentang tempat dan waktu pembayaran, maka si pembeli harus membayar ditempat dan pada waktu dimana penyerahan (levering) baarangnya harus dilakukan. Si pembeli, biarpun tidak ada suatu janji yang tegas, diwajibkan membayar bunga dari harga pembelian jika barang yang dijual dan diserahkan member hasil atau lain pendapat.


A.    Jual Beli Menurut Hukum Islam
1.      Definisi Jual Beli
Perkataan jual beli terdiri dari dua suku kata yaitu “Jual dan Beli”. Sebenarnya kata “Jual” dan “Beli” mempunyai arti yang satu sama lainnya bertolak belakang. Kata “Jual” menunjukkan bahwa adanya perbuatan menjual, sedangkan “Beli” adalah adanya perbuatan membeli. [3]
Jual beli merupakan salah satu bentuk bisnis (perdagangan/tijarah) yang bertujuan untuk mencari keuntungan (laba/profit). Sebagaimana firman Allah Swt.
  Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca Kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezki yang kami anuge- rahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi,” [4]
           
Secara Terminologi, terdapat beberapa definisi, diantaranya:
a.       Oleh ulama Hanafiyah didefinisikan dengan:
 “Saling menukarkan harta dengan harta melalui cara tertentu” atau “tukar menukar sesuatu yang diingini dengan yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat”.
Unsur-unsur definisi tersebut adalah, bahwa yang dimaksud dengan cara khusus adalah ijab dan Kabul, atau juga bisa melalui saling memberikan barang dan menetapkan harga antara penjual dan pembeli. Selain itu, harta yang diperjualbelikan itu harus bermanfaat bagi manusia, seperti menjual bangkai, minuman keras dan darah tidak dibenarkan.


b.      Oleh Said Sabiq didefinisikan dengan:
 “Saling menukar harta dengan harta atas dasar suka sama suka”.
c.       Oleh Imam An-Nawawi didefinisikan dengan:
 “Saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik”
d.      Oleh Abu Qudamah didefinisikan dengan:
“Saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan pemilikan”.
Dalam definisi di atas ditekankan kepada “hak milik dan pemilikan”, sebab ada tukar menukar harta yang sifatnya tidak harus dimiliki seperti sewa menyewa.[5]
Dari definisi yang telah dikemukakan tersebut dapat disimpulkan bahwa jual beli dapat terjadi dengan cara:
1)      Pertukaran harta antara dua pihak atas dasar saling rela, dan
2)      Memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan yaitu berupa alat tukar yang diakui sah dalam lalu lintas perdagangan.
Pertukaran harta atas dasar saling rela itu dapat dikemukakan bahwa jual beli yang dilakukan adalah dalam bentuk barter atau pertukaran barang (dapat dikatakan bahwa jual beli ini adalah dalam bentuk pasar tradisional).
2.      Dasar Hukum Jual Beli
Jual beli sebagai sarana tolong menolong antara sesama manusia mempunyai landasan yang amat kuat dalam Islam. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman:

“Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 275)
            Firman Allah:

“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa’:29)
            Dalam Sabda Rasulullah disebutkan:
“Nabi Muhammad SAW. Pernah ditanya: Apakah profesi yang paling baik? Rasulullah menjawab:”Usaha tangan manusia sendiri dan setiap jual beli yang diberkati”. (HR. Al-Barzaar dan Al-Hakim).
            Jual beli yang mendapat berkah dari Allah adalah jual beli yang jujur, yang tidak curang, mengandung unsur penipuan dan pengkhianatan.
            Sabda Rasulullah:
“Jual beli itu atas dasar suka sama suka.” (HR. Baihaqi)
            Sabda rasulullah:
“ Pedagang yang jujur dan terpercaya sejajar (tempatnya di surga) dengan para Nabi, Siddiqin dan Syuhada’.” (HR. Tirmidzi).[6]
3.      Syarat-Syarat Sah Jual Beli
Agar jual beli dapat dilaksanakan secara sah dan memberi pengaruh yang tepat, harus direalisasikan beberapa syaratnya terlebih dahulu. Ada yang berkaitan dengan pihak penjual dan pembeli, dan ada kaitan dengan objek yang diperjualbelikan.
1)      Subjeknya
Kedua belah pihak yang melakukan perjanjian jual beli harus memenuhi syarat seperti berikut (Sulaiman Rasyid, 1990:263):
a)      Berakal, agar dia tidak terkicuh, orang gila atau bodoh tidak sah jual belinya.
Yang dimaksud dengan berakal adalah dapat membedakan atau memilih mana yang terbaik  bagi dirinya. Apabila salah satu pihak tidak berakal, maka jual beli yang diadakan tidak sah.
b)      Dengan kehendaknya sendiri
Dalam hal tersebut dapat dijelaskan bahwa dalam melakukan perbuatan jual beli salah satu pihak tidak melakukan tekanan atau paksaan atas pihak lain, sehingga pihak lain tersebut melakukan perbuatan jual beli bukan disebabkan kemauan sendiri, tapi ada unsur paksaan. Jual beli yang dilakukan atas dasar “kehendak sendiri” adalah tidak sah.
Adapun yang menjadi dasar bahwa suatu jual beli harus dilakukan atas dasar kehendak sendiri, dapat dilihat dalam firman Allah QS. An-nisa’:29
  
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”

c)      Keduanya tidak mubazir
Keadaanya tidak mubazir, maksudnya pihak yang mengingatkan diri dalam perjanjian jual beli bukanlah manusia yang boros (mubazir), sebab orang yang boros didalam hukum dikategorikan sebagai orang yang tidak cakap bertindak. Dia tidak dapat melakukan sendiri sesuatu perbuatan hukum walaupun kepentingan hukum itu, menyangkut kepentingannya sendiri.
Orang boros atau mubazir didalam perbuatan hukum berada di bawah pengampuan atau perwalian, yang melakukan perbuatan hukum untuk keperluannya adalah pengampuannya/walinya. Hal itu, sesuai dengan firman Allah QS. An-nisa’:5
  
“ Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.”[7]
d)     Baligh
Baligh atau dewasa dalam hukum Islam adalah apabila telah berumur 15 tahun, atau telah bermimpi (bagi anak laki-laki) dan haid (bagi anak perempuan). Dengan demikian, jual beli yang diadakan anak kecil adalah tidak sah.
Namun demikian, bagi anak-anak yang sudah dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, tetapi belum dewasa, menurut sebagian pendapat sebagian diperbolehkan melakukan perbuatan jual beli, khususnya untuk barang-barang kecil dan tidak bernilai tinggi.[8]
2)      Objek jual belinya, yakni sebagai berikut:
a.       Objek jual beli tersebut harus suci, bermanfaat, bisa diserahterima, dan merupakan milik penuh salah satu pihak.
Tidak sah menjualbelikan barang najis atau barang haram seperti darah, bangkai dan daging babi. Karena benda-benda tersebut menurut syariat tidak dapat digunakan. Di antara bangkai tidak ada yang dikecualikan selain ikan dan belalang. Dari jenis darah juga tidak ada yang dikecualikan selain hati (lever) dan limpa, karena ada dalil yang mengindikasikan demikian. Juga tidak sah menjual barang yang belum menjadi hak milik, karena ada dalil yang menunjukkan larangan terhadap itu.
Tidak ada pengecualian, melainkan dalam jual beli as-Salm. Yakni sejenis jual beli dengan menjual barang yang digambarkan kriterianya secara jelas dalam kepemilikan, dibayar dimuka, yakni dibayar terlebih dahulu tetapi barang diserahterimakan belakangan. Karena ada dalil yang menjelaskan disyariatkannya jual beli ini.
Tidak sah juga menjual barang yang tidak ada atau yang berada di luar kemampuan penjual untuk menyerahkannya seperti menjual Malaqih, Madhamin atau menjual ikan yang masih dalam air, burung yang masih terbang di udara dan sejenisnya. Malaqih adalah anak yang masih dalam tulang sulbi pejantan. Sementara madhamin adalah anak yang masih dalam tulang dada hewan betina.
Adapun jual beli fudhuliy yakni orang yang bukan pemilik barang juga bukan orang yang diberi kuasa, menjual barang milik orang lain, padahal tidak ada pemberian surat kuasa dari pemilik barang. Ada perbedaan pendapat tentang jual beli jenis ini. Namun yang benar adalah tergantung izin dari pemilik barang.
b.      Mengetahui objek yang diperjualbelikan dan juga pemba-yarannya, agar tidak terkena faktor "ketidaktahuan" yang bisa termasuk "menjual kucing dalam karung", karena itu dilarang.
c.       Tidak memberikan batasan waktu. Tidak sah menjual barang untuk jangka masa tertentu yang diketahui atau tidak diketahui. Seperti orang yang menjual rumahnya kepada orang lain dengan syarat apabila sudah dibayar, maka jual beli itu dibatalkan. Itu disebut dengan jual beli pelunasan.
Adapun yang menjadi rukun dalam perbuatan hukum jual beli terdiri dari:
a.       Orang yang berakad (penjual dan pembeli)
b.      Sighat (lafal ijab dan Kabul)
c.       Ada barang yang dibeli
d.      Ada nilai tukar pengganti barang

4.      Hukum Jual beli
Dari kandungan ayat-ayat dan hadis-hadis yang telah dikemukakan sebagai dasar jual-beli, para ulama fikih mengambil suatu kesimpulan, bahwa jual-beli itu hukumnya mubah (boleh). Namun, menurut Imam asy-Syatibi (ahli fikih Mazhab Imam Maliki), hukumnya bisa berubah menjadi wajib dalam situasi tertentu. Sebagai contoh dikemukakannya, bila suatu waktu terjadi praktek ihtikar, yaitu penimbunan barang, sehingga persediaan (stok) hilang dari pasar dan harga melojak naik. Apabila terjadi praktek semacam itu, maka pemerintah boleh memaksa para pedagang menjual barang-barang sesuai dengan harga pasar sebelum terjadi pelonjakan harga barang itu. Para pedagang wajib memenuhi ketentuan pemerintah di dalam menentukan harga di pasaran.
Selain wajib menjual dagangannya, dapat juga dikenakan sanksi hukum, karena tindakan tersebut dapat merusak atau mengacaukan ekonomi rakyat. Di Indonesia praktek semacam itu banyak ditemukan dalam masyarakat, seperti penimbunan beras, gula pasir, BBM dan lainnya. Pribadi-pribadi pelakunya dalam waktu singkat menjadi jutawan, sedangkan rakyat banyak menjadi melarat.
5.      Bentuk-Bentuk Jual Beli
Mazhab Hanafi membagi jual beli dari segi sah atau tidaknya menjadi tiga bentuk:
a.       Jual-Beli yang Sahih
Apabila jual beli itu disyari’atkan, memenuhi rukun atau syarat yang ditentukan, barang itu bukan milik orang lain, dan tidak terikat dengan khiyar lagi, maka jual beli itu sahih dan mengikat kedua belah pihak.
b.      Jual-Beli yang Batil
Apabila pada jual beli itu salah satu atau seluruh rukunnya tidak terpenuhi, atau jual beli itu pada dasarnya dan sifatnya tidak disyari’atkan, maka jual beli itu batil. Jual beli yang batil itu sebagai berikut:
·         Jual-beli sesuatu yang tidak ada
·         Menjual barang yang tidak dapat diserahkan
·         Jual-beli yang mengandung unsur tipuan
·         Jual-beli benda najis
·         Jual-beli al-‘urbun (perjanjian)
·         Memperjualbelikan air sungai, air danau, air laut dan air yang tidak boleh dimilki seseorang.
c.       Jual beli yang Fasid
Menurut ulama Mazhab Hanafi, jual-beli yang fasid antara lain sebagai berikut:
·         Jual beli al-Majhl
Yaitu benda atau barangnya secara global tidak diketahui, dengan syarat ketidakjelasannya itu bersifat menyeluruh. Tetapi apabila sifat ketidakjelasannya sedikit, jual belinya sah, karena hal tersebut tidak membawa perselisihan.
·         Jual beli yang dikaitkan dengan suatu syarat.
Jual beli yang dikaitkan dengan suatu syarat, seperti ucapan penjual kepada pembeli : “Saya jual mobil saya ini kepada anda bulan depan setelah mendapat gaji”. Jual beli seperti ini batal menurut Jumhur ulama dan fasid menurut Mazhab Hanafi. Menurut ulama Hanafi jual beli ini dipandang sah, setelah sampai  waktunya, yaitu “bulan depam” sesuai dengan syarat yang ditentukan.
·         Menjual barang yang ghaib yang tidak diketahui pada saat jual beli berlangsung, sehingga tidak dapat dilihat oleh pembeli.
·         Jual beli yang dilakukan orang buta
Jumhur ulama mengatakan, bahwa jual-beli yang dilakukan oleh orang buta adalah sah, apabila orang buta itu mempunyai hak khiyar. Sedangkan ulama Mazhab Syafi’I tidak membollehkannya, kecuali barang yang dibeli tersebut telah dilihatnya sebelum matanya buta.
·         Barter barang dengan barang yang diharamkan
·         Jual beli al-ajl
Jual beli ini dikatakan fasid, karena menyerupai dan menjurus kepada “riba”. Namun, ulama Mazhab Hanafi menyatakan, apabila unsur yang membuat jual beli ini menjadi rusak, dihilangkan, maka hukumnya sah.
·         Jual beli anggur untuk tujuan mambuat khamar
·         Jual beli yang bergantung pad syarat
·         Jual beli sebagian barang yang tidak dapat dipisahkan dari satuannya
·         Jual beli buah-buahan atau padi-padian yang belum sempurna matangnya untuk dipanen.[9]
Selain bentuk-bentuk jual beli yang telah diterapkan diatas, jual beli juga dapat diklasifikasikan dalam banyak pembagian dengan sudut pandang yang berbeda-beda, yaitu sebagai berikut:
1.      Klasifikasi Jual Beli dari Sisi Objek Dagangan
Ditinjau dari sisi ini jual beli dibagi menjadi tiga jenis: Pertama: Jual beli umum, yaitu menukar uang dengan barang. Kedua: Jual beli ash-sharf atau Money Changer, yakni penukaranuangdenganuang.Ketiga:Jual bel imuqaya dhah atau barter.Yakni menukar barang dengan barang.
2.      Klasifikasi Jual Beli dari Sisi Cara Standarisasi Harga
Jual beli Bargainal (Tawar menawar). Yaknij jual beli dimana penjual tidak memberitahukan modal barang yang dijualnya. b). Jual beli amanah. Yakni jual beli di mana penjual memberitahukan harga modal jualannya. Dengan dasar jual beli ini, jenis jualbeli tersebut terbagi lain menjadi tiga jenis lain:
a.       Jual beli murabahah.
Yakni jual beli dengan modal dan keuntungan yang diketahui.
b.      Jual beli wadhi"ah.
Yakni jual dengan harga di bawah modal dan jumlah kerugian Yang diketahui.
c.       Jual beli tauliyah. 
Yakni jual beli dengan menjual barang dalam harga modal, tanpa keuntungan dan kerugian. Sebagian ahli fiqih menambahkan lagi jenis jual beli yaitu jual beli isyrak dan mustarsal. Isyrak adalah menjual sebagian barang dengan sebagian uang bayaran. Sedang jual beli mustarsal adalah jual beli dengan harga pasar. Mustarsil adalah orang lugu yang tidak mengerti harga dan tawar menawar.c) Jual beli muzayadah (lelang). Yakni jual beli dengan cara penjual menawarkan barang dagangannya, lalu para pembeli saling menawar dengan menambah jumlah pembayaran dari pembeli sebelumnya, lalu si penjual akan menjual dengan harga tertinggi dari para pembeli tersebut.Kebalikannya disebut dengan jual beli munaqadhah (obral). Yakni si pembeli menawarkan diri untuk membeli barang dengan kriteria tertentu, lalu para penjual berlomba menawarkan dagangannya, kemudian si pembeli akan membeli dengan harga termurah yang mereka tawarkan.
 Pembagian Jual Beli Dilihat dari Cara Pembayaran
Ditinjau dari sisi ini, jual beli terbagi menjadi empat bagian:
1.      Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran secara langsung.
2.      Jual beli dengan pembayaran tertunda.
3.      Jual beli dengan penyerahan barang tertunda.
4.      Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran sama-sama tertunda
Islam melihat konsep jual beli itu sebagai suatu alat untuk menjadikan manusia itu semakin dewasa dalam berpola pikir dan melakukan berbagai aktivitas, termasuk aktivitas ekonomi. Pasar sebagai tempat aktivitas jual beli harus, dijadikan sebagai tempat pelatihan yang tepat bagi manusia sebagai khalifah di muka bumi. Maka sebenarnya jual beli dalam Islam merupakan wadah untuk memproduksi khalifah-khalifah yang tangguh di muka bumi. Dalam Qur’an Surat Al Baqoroh ayat 275, Allah menegaskan bahwa:
  
“Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”
Hal yang menarik dari ayat tersebut adalah adanya pelarangan riba yang didahului oleh penghalalan jual beli. Jual beli (trade) adalah bentuk dasar dari kegiatan ekonomi manusia. Kita mengetahui bahwa pasar tercipta oleh adanya transaksi dari jual beli. Pasar dapat timbul manakala terdapat penjual yang menawarkan barang maupun jasa untuk dijual kepada pembeli. Dari konsep sederhana tersebut lahirlah sebuah aktivitas ekonomi yang kemudian berkembang menjadi suatu sistem perekonomian.


[1]  Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia. PT. Citra Aditya Bakti: Bandung. 1999. Hal:317-318.
[2] Ibid. hal. 320-323
[3] Suhrawardi Lubis, Hukum Ekonomi Islam. Sinar Grafika Offset:Jakarta. 2000. Hal 128
[4] Djakfar, Muhammad. Hukum Bisnis (Membangun Wacana Integrasi Perundangan Nasional dengan Syariah). UIN – Malang Press: Malang. 2009. Hal 170

[5]  Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam. PT Raja Grafindo Persada:Jakarta.2004 Hal:113-114
[6]  Op.cit. Hal:115-117
[7]  Perlu dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan belum sempurna akalnya diartikan sebagai anak yatim   yang belum baligh atau orang dewasa yang tidak dapat mengatur hartanya. Walilah yang bertanggung jawab penuh untuk segala perbuatan hukum, guna kepentingan orang yang ditaruh di dbawah pengampuan. Op.cit. Hal 131

[8] Ibid. Hal 130-131
[9]  Ibid. Hal: 128-138